Rendra dan Gejolak Sosial Politik Tahun 1967
W.S Rendra atau Willibrordus
Surendra Broto Rendra (lahir Solo, 7 November 1935) adalah penyair ternama yang
kerap dijuluki sebagai "Burung Merak". Ia meninggal di Depok pada 6
Agustus 2009. Beberapa karya dari
W.S Rendra yaitu Ballada Orang-Orang Tercinta (Kumpulan sajak), Blues untuk Bonnie, Empat Kumpulan Sajak, Sajak-sajak Sepatu Tua, Mencari Bapak, Perjalanan Bu Aminah, Nyanyian Orang Urakan, Pamphleten van een Dichter, Potret Pembangunan Dalam Puisi, Disebabkan Oleh Angin dan lain-lain. Dari semua puisi karya W.S
Rendra, ada puisi yang merupakan puisi kritik sosial politik, yaitu sebuah puisi yang berjudul Kesaksian Tahun 1967. Puisi ini adalah puisi
yang sarat akan kritik social politik pada awal zaman orde baru, tepatnya tahun 1967. Sapardi Djoko Damono
pernah mengatakan bahwa karya sastra tidak begitu saja jatuh dari langit. Ada
yang menciptakannya. Dalam hal ini, Rendra sebagai penyair dan dramawan besar
Indonesia membaca kehidupan sosial politik di negerinya dan memberikan
kesaksian melalui puisi tersebut. Asep
S. Sambodja menilai bahwa kegelisahan eksistensial Rendra sangat menonjol dalam
puisi itu, meskipun yang dibicarakan adalah persoalan kehidupan masyarakatnya.
Persoalan-persoalan kehidupan itu diserap dan dihayatinya kemudian
diekspresikan melalui “Kesaksian Tahun 1967” setelah mengalami proses
pengendapan. Kata-kata yang digunakan Rendra sangat khas; idiom yang
digunakannya juga terbaca dalam puisi-puisinya yang lain. Berilut adalah puisi W.S Rendra tersebut.
Kesaksian
Tahun 1967
Dunia yang akan kita bina adalah dunia baja
kaca dan tambang-tambang yang menderu
bumi bakal tidak lagi perawan,
tergarap dan terbuka
sebagai lonte yang merdeka
Mimpi yang kita kejar, mimpi platina berkilatan
Dunia yang kita injak, dunia kemelaratan
Keadaan yang menyekap kita, rahang serigala yang menganga
Nasib kita melayang seperti awan
Menantang dan menertawakan kita
menjadi kabut dalam tidur malam
menjadi surya dalam kerja siangnya
Kita akan mati dalam teka-teki nasib ini
dengan tangan-tangan yang angkuh dan terkepal
Tangan-tangan yang memberontak dan bekerja
Tangan-tangan yang mengoyak sampul keramat
dan membuka lipatan surat suci
yang tulisannya ruwet tak bisa dibaca
Dunia yang akan kita bina adalah dunia baja
kaca dan tambang-tambang yang menderu
bumi bakal tidak lagi perawan,
tergarap dan terbuka
sebagai lonte yang merdeka
Mimpi yang kita kejar, mimpi platina berkilatan
Dunia yang kita injak, dunia kemelaratan
Keadaan yang menyekap kita, rahang serigala yang menganga
Nasib kita melayang seperti awan
Menantang dan menertawakan kita
menjadi kabut dalam tidur malam
menjadi surya dalam kerja siangnya
Kita akan mati dalam teka-teki nasib ini
dengan tangan-tangan yang angkuh dan terkepal
Tangan-tangan yang memberontak dan bekerja
Tangan-tangan yang mengoyak sampul keramat
dan membuka lipatan surat suci
yang tulisannya ruwet tak bisa dibaca
Puisi ini mengisahkan keadaan Indonesia pada
masa transisi antara orde lama ke orde baru. Gejolak politik yan penuh intrik,
fenomena sosial politik dan kejadian besar lain pada waktu itu seperti
terangkum dalam puisi ini. “Dunia yang akan kita bina adalah dunia baja”.
Disisi sepertinya Rendra hendak mengungkapkan usaha Soeharto untuk menegakkan
kembali Pancasiladan UUD 1945 secara murni dan konsekuen pada “dunia baja”,
yaitu ideologi nasakom, salah satu peninggalan Soekarno. Pada bait kedua,
penggambaran gelombang demokrasi rakyat dan mahasiswa yang acapkali terjadi
layaknya “kaca dan tambang-tambang yang menderu”. “bumi bakal tidak lagi perawan,
tergarap dan terbuka, sebagai lonte yang merdeka”, ini merupakan penggambaran terhadap usaha Soeharto untuk merubah pandangan rakyat agar bisa lebih maju dan terbuka karena saat itu keadaan Indonesia sedang terpuruk. Penggunaan kata “lonte” disini memang terkesan fulgar namun inilah ciri khas Rendra.Kata “lonte” merupakan pengibaratan sesuatu hal yang sedang dijajah, layaknya Indonesia yang kala itu dijajah oleh peninggalan rezim Soekarno yang tidak sesuai dengan jati diri bangsa. Selanjutnya, Rendra seperti menggambarkan impian yang ingin dicapai Soeharto bersama rakyat Indonesia untuk mengejar “mimpi platina berkilatan”. kita tahu bahwa platina adalah logam yang tidak bisa berkarat, begitupun mimpi Soeharto dan rakyat Indonesia untuk menjadokan Indonesia negara yang kuat dan mampu bersinar di mata dunia. Meskipun “
Dunia yang kita injak, dunia kemelaratan”, yaitu dunia dengan kondosi sosial politik yang tidak stabil. “Keadaan yang menyekap kita, rahang serigala yang menganga”. Baris ini menegaskan bahwa keadaan saat itu keadaan yang tidak kondosif dan tidak mudah bagi Soeharto untuk keluar dari keadaan itu.
tergarap dan terbuka, sebagai lonte yang merdeka”, ini merupakan penggambaran terhadap usaha Soeharto untuk merubah pandangan rakyat agar bisa lebih maju dan terbuka karena saat itu keadaan Indonesia sedang terpuruk. Penggunaan kata “lonte” disini memang terkesan fulgar namun inilah ciri khas Rendra.Kata “lonte” merupakan pengibaratan sesuatu hal yang sedang dijajah, layaknya Indonesia yang kala itu dijajah oleh peninggalan rezim Soekarno yang tidak sesuai dengan jati diri bangsa. Selanjutnya, Rendra seperti menggambarkan impian yang ingin dicapai Soeharto bersama rakyat Indonesia untuk mengejar “mimpi platina berkilatan”. kita tahu bahwa platina adalah logam yang tidak bisa berkarat, begitupun mimpi Soeharto dan rakyat Indonesia untuk menjadokan Indonesia negara yang kuat dan mampu bersinar di mata dunia. Meskipun “
Dunia yang kita injak, dunia kemelaratan”, yaitu dunia dengan kondosi sosial politik yang tidak stabil. “Keadaan yang menyekap kita, rahang serigala yang menganga”. Baris ini menegaskan bahwa keadaan saat itu keadaan yang tidak kondosif dan tidak mudah bagi Soeharto untuk keluar dari keadaan itu.
“Nasib
kita melayang seperti awan, menantang dan menertawakan kita, menjadi kabut dalam tidur
malam, menjadi
surya dalam kerja siangnya”. Baris-baris di atas mengungkapkan bahwa
pemerintahan Soeharto masih berusaha dan belum erhasil mengatasi keadaan pada
zaman tersebut. Ada banyak halangan dan rintangan dalam usaha Soeharto
mewujudkan impiannya. Dalam baris “Kita akan mati dalam teka-teki nasib
ini, dengan
tangan-tangan yang angkuh dan terkepal”, sepertinya Rendra ingin mengungkapkan bahwa
Soeharto akan gagal dalam memimpin bangsa ini jika ia angkuh dan otoriter. “Tangan-tangan
yang memberontak dan bekerja, Tangan-tangan yang mengoyak sampul keramat, dan membuka lipatan surat suci, yang tulisannya ruwet tak
bisa dibaca”. Baris-baris
akir dari puisi ini memperlihatkan bahwa puisi Rendra menggunakan kata-kata
ideomatik yang memerlukan pemahaman khusus dalam mengartikan puisinya.
Baris-baris tersebut merujuk pada pejabat pemerintah ada yang membelot dari
aturan Soeharto dan ada pula yang sejalan dengan Soeharto. Tindakan-tindakan
pejabat pemerintahan tersebut tidak dapat diprediksikan bagaimana Indonesia
nantinya. Dalam penuangan ide kreatifnya, rendra memang dikenal lugas dan
sering menggunakan pilihan kata yang cukup unik dan sulit untuk diterjemahkan.