Selasa, 19 Februari 2013

Kritik Sastra



Rendra dan Gejolak Sosial Politik Tahun 1967

W.S Rendra atau Willibrordus Surendra Broto Rendra (lahir Solo, 7 November 1935) adalah penyair ternama yang kerap dijuluki sebagai "Burung Merak". Ia meninggal di Depok pada 6 Agustus 2009. Beberapa karya dari W.S Rendra yaitu Ballada Orang-Orang Tercinta (Kumpulan sajak), Blues untuk Bonnie, Empat Kumpulan Sajak, Sajak-sajak Sepatu Tua, Mencari Bapak, Perjalanan Bu Aminah, Nyanyian Orang Urakan, Pamphleten van een Dichter, Potret Pembangunan Dalam Puisi, Disebabkan Oleh Angin dan lain-lain. Dari semua puisi karya W.S Rendra, ada puisi yang merupakan puisi kritik sosial politik, yaitu  sebuah puisi yang berjudul  Kesaksian Tahun 1967. Puisi ini adalah puisi yang sarat akan kritik social politik pada awal zaman orde baru, tepatnya tahun 1967. Sapardi Djoko Damono pernah mengatakan bahwa karya sastra tidak begitu saja jatuh dari langit. Ada yang menciptakannya. Dalam hal ini, Rendra sebagai penyair dan dramawan besar Indonesia membaca kehidupan sosial politik di negerinya dan memberikan kesaksian melalui puisi tersebut. Asep S. Sambodja menilai bahwa kegelisahan eksistensial Rendra sangat menonjol dalam puisi itu, meskipun yang dibicarakan adalah persoalan kehidupan masyarakatnya. Persoalan-persoalan kehidupan itu diserap dan dihayatinya kemudian diekspresikan melalui “Kesaksian Tahun 1967” setelah mengalami proses pengendapan. Kata-kata yang digunakan Rendra sangat khas; idiom yang digunakannya juga terbaca dalam puisi-puisinya yang lain. Berilut adalah puisi W.S Rendra tersebut.
Kesaksian Tahun 1967

Dunia yang akan kita bina adalah dunia baja
kaca dan tambang-tambang yang menderu
bumi bakal tidak lagi perawan,
tergarap dan terbuka
sebagai lonte yang merdeka
Mimpi yang kita kejar, mimpi platina berkilatan
Dunia yang kita injak, dunia kemelaratan
Keadaan yang menyekap kita, rahang serigala yang menganga

Nasib kita melayang seperti awan
Menantang dan menertawakan kita
menjadi kabut dalam tidur malam
menjadi surya dalam kerja siangnya
Kita akan mati dalam teka-teki nasib ini
dengan tangan-tangan yang angkuh dan terkepal
Tangan-tangan yang memberontak dan bekerja
Tangan-tangan yang mengoyak sampul keramat
dan membuka lipatan surat suci
yang tulisannya ruwet tak bisa dibaca
Puisi ini mengisahkan keadaan Indonesia pada masa transisi antara orde lama ke orde baru. Gejolak politik yan penuh intrik, fenomena sosial politik dan kejadian besar lain pada waktu itu seperti terangkum dalam puisi ini. “Dunia yang akan kita bina adalah dunia baja. Disisi sepertinya Rendra hendak mengungkapkan usaha Soeharto untuk menegakkan kembali Pancasiladan UUD 1945 secara murni dan konsekuen pada “dunia baja”, yaitu ideologi nasakom, salah satu peninggalan Soekarno. Pada bait kedua, penggambaran gelombang demokrasi rakyat dan mahasiswa yang acapkali terjadi layaknya “kaca dan tambang-tambang yang menderu”.bumi bakal tidak lagi perawan,
tergarap dan terbuka
, sebagai lonte yang merdeka, ini merupakan penggambaran terhadap usaha Soeharto untuk merubah pandangan rakyat agar bisa lebih maju dan terbuka karena saat itu keadaan Indonesia sedang terpuruk. Penggunaan kata “lonte” disini memang terkesan fulgar namun inilah ciri khas Rendra.Kata “lonte” merupakan pengibaratan sesuatu hal yang sedang dijajah, layaknya Indonesia yang kala itu dijajah oleh peninggalan rezim Soekarno yang tidak sesuai dengan jati diri bangsa. Selanjutnya, Rendra seperti menggambarkan impian yang ingin dicapai Soeharto bersama rakyat Indonesia untuk mengejar “mimpi platina berkilatan”. kita tahu bahwa platina adalah logam yang tidak bisa berkarat, begitupun mimpi Soeharto dan rakyat Indonesia untuk menjadokan Indonesia negara yang kuat dan mampu bersinar di mata dunia. Meskipun “
Dunia yang kita injak, dunia kemelaratan”, yaitu dunia dengan kondosi sosial politik yang tidak stabil. “Keadaan yang menyekap kita, rahang serigala yang menganga”. Baris ini menegaskan bahwa keadaan saat itu keadaan yang tidak kondosif dan tidak mudah bagi Soeharto untuk keluar dari keadaan itu.
Nasib kita melayang seperti awan, menantang dan menertawakan kita, menjadi kabut dalam tidur malam, menjadi surya dalam kerja siangnya”. Baris-baris di atas mengungkapkan bahwa pemerintahan Soeharto masih berusaha dan belum erhasil mengatasi keadaan pada zaman tersebut. Ada banyak halangan dan rintangan dalam usaha Soeharto mewujudkan impiannya. Dalam baris “Kita akan mati dalam teka-teki nasib ini, dengan tangan-tangan yang angkuh dan terkepal”, sepertinya Rendra ingin mengungkapkan bahwa Soeharto akan gagal dalam memimpin bangsa ini jika ia angkuh dan otoriter. “Tangan-tangan yang memberontak dan bekerja, Tangan-tangan yang mengoyak sampul keramat, dan membuka lipatan surat suci, yang tulisannya ruwet tak bisa dibaca”. Baris-baris akir dari puisi ini memperlihatkan bahwa puisi Rendra menggunakan kata-kata ideomatik yang memerlukan pemahaman khusus dalam mengartikan puisinya. Baris-baris tersebut merujuk pada pejabat pemerintah ada yang membelot dari aturan Soeharto dan ada pula yang sejalan dengan Soeharto. Tindakan-tindakan pejabat pemerintahan tersebut tidak dapat diprediksikan bagaimana Indonesia nantinya. Dalam penuangan ide kreatifnya, rendra memang dikenal lugas dan sering menggunakan pilihan kata yang cukup unik dan  sulit untuk diterjemahkan.


Sabtu, 09 Februari 2013

Essay



Hakim, Bukan Pengadilan yang Hakiki

Sebagai negara hukum, Indonesia tentu memiliki orang-orang yang bertugas mengadili pelanggar hukum. Para pengadil itu adalah hakim.Hakim-hakim ini berada di setiap daerah. Dari tangan merekalah nasib para pelaku kejahatan ditentukan. Apakah mereka akan mendekam dibalik jeruji besi, atau mereka akan menemui hukuman mati. Para hakim tentunya menjatuhkan vonis sesuai dengan peraturan yang berlaku. Hakim-hakim tersebut banyak diharapkan rakyat agar mampu mengadili pelaku kejahatan dengan tegas.

Pertanyaannya, sudahkah hakim yang bertindak sebagai pengadil berlaku adil? Jika kita lihat keadaan di Indonesia saat ini, tentu jawabannya adalah belum. Masih adanya money politic di dalam dunia kehakiman Indonesia masih menjadi penegas bahwa hakim saat ini belum berada pada konteks yang sesungguhnya. Mereka lebih mementingkan besar rupiah yang dapat mengalir ke kantongnya dibandingkan besar keadilan yang dapat ditegakannya. Tentunya perilaku yang demikian sangat tidak pantas berada di dalam diri seorang hakim. Mereka mendapat kepercayaan dari negara untuk mengungkap keadilan tetapi justru mereka menjadikan meja hijau layaknya permainan "monopoli". Yang mempunyai banyak uang yang menang.

Tak berhenti disitu saja, putusan hakim terkadang juga tak sepadan dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan oleh tersangka. Tentu masih jelas tergambar di ingatan kita, orang-orang miskin yang tersandung kasus hukum yang sepele mendapat hukuman yang lumayan berat. Sesungguhnya sebagian besar dari mereka melakukan tindak kejahatan tersebut karena himpitan ekonomi. Tetapi jika kita tengok kasus-kasus kejahatan yang melibatkan orang-orang besar di negeri ini, mereka mendapatkan vonis yang tak sepadan dengan apa yang telah mereka lakukan. Vonis yang mereka dapatkan terlalu ringan. Selain mendapat vonis yang ringan, mereka pun bisa mendapatkan pelayanan VIP. Hal ini selalu menjadi sorotan publik. Tentu masyarakat menjadi bertanya-tanya, apakah derajat seseorang menentukan besar vonis yang akan dijatuhkan padanya?

Hakim saat ini nampaknya juga belum bisa menerarapkan perilaku-perilaku yang baik sebagai pemegang amanah peradilan di Indonesia. Beberapa hakim pernah menjadi sorotan karena melakukan tindakan yang tidak sepantasnya mereka lakukan. Misalnya mereka mengeluarkan pernyataan yang tidak pantas. Hal ini mengindikasikan bahwa hakim yang berlatar belakang pendidikan hukum justru melanggar moral, nilai dan etika. Sangat disayangkan seorang hakim yang terhormat tidak mampu menjaga lisannya di depan umum. Dalam hal ini seharusnya pemerintah dapat melakukan pengawasan yang ketat dan menindak tegas hakim yang tidak bisa menanamkan moral, nilai-nilai dan etika yang baik pada diri mereka.

Tentunya kita semua sudah sudah memahami keadaan dunia peradilan di Indonesia yang masih banyak terjadi penyelewengan. Mulai dari adanya money politic, ketidaksesuaian pelanggaran dengan vonis yang dijatuhkan hingga mengeluarkan pernyataan yang tidak sepantasnya diucapkan. Berkaca dari hal di atas, hakim yang ada di Indonesia harus segera berbenah diri agar mereka yang bertindak sebagai pengadil mampu menjalankan tugasnya dengan baik tanpa harus dicoreng dengan tindakan yang dapat merugikan orang lain. Diluar itu, harus kita sadari bahwa tidak ada manusia yang sempurna, dan pengadilan dari hakim pun bukanlah pengadilan yang hakiki. Pengdilan yang hakiki tentunya penghakiman dari Tuhan. Meskipun begitu, usaha untuk terus menjadi lebih baik tetap harus dijalankan demi terciptanya sistem peradilan yang baik.